BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hampir seluruh negara di dunia mengalami masalah banjir, tidak terkecuali di
negara-negara yang telah maju sekalipun. Masalah tersebut mulai muncul
sejak manusia bermukim dan melakukan berbagai kegiatan di kawasan yang berupa
dataran banjir (flood plain) suatu sungai. Kondisi lahan di kawasan ini pada
umumnya subur serta menyimpan berbagai potensi dan kemudahan sehingga mempunyai
daya tarik yang tinggi untuk dibudidayakan. Oleh karena itu, kota-kota
besar serta pusat-pusat perdagangan dan kegiatan-kegiatan penting lainnya
seperti kawasan industri, pariwisata, prasarana perhubungan dan sebagainya
sebagian besar tumbuh dan berkembang di kawasan ini. Sebagai contoh, di Jepang
sebanyak 49% jumlah penduduk dan 75% properti terletak di dataran banjir yang
luasnya 10% luas daratan; sedangkan sisanya 51% jumlah penduduk dan hanya 25%
properti yang berada di luar dataran banjir yang luasnya 90% luas
daratan ( Siswoko 2007).
Wilayah bantaran sungai di Indonesia merupakan salah satu wilayah yang
sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi
perubahan pola cuaca dan iklim setempat yang menyebabkan pola dan debit air
sungai tidak dapat di perhitungkan dan dapat dengan tiba-tiba meningkat dan
mengakibatkan banjir. Hal ini semakin diperparah dengan kenyataan
adanya kerusakan lingkungan di sekitar bantaran sungai. Seperti yang
diketahui bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi
geografis, geologis,hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya
bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor
manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, dan dampak psikologis,
yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Hampir
seluruh kota-kota besar di Indonesia juga berada di dataran banjir
(Tabel 1.1).
Tabel
1.1 Kota-Kota di Indonesia yang Berada di Dataran Banjir
|
NO
|
KOTA
|
SUNGAI
|
|
1
|
JAKARTA
|
Kamal,
Tanjungan, Pesanggrahan, Sekretaris, Grogol, Krukut, Cideng, Ciliwung,
Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, Cakung
|
|
2
|
SEMARANG
|
Kali
Garang/ Kali Semarang
|
|
3
|
SURABAYA
|
Kali
Brantas
|
|
4
|
PALEMBANG
|
Sungai
Musi
|
|
5
|
BANDUNG
SELATAN
|
Sungai
Citarum Hulu
|
|
6
|
PADANG
|
Batang
Arau, Batang Kuranji, Batang Air Dingin
|
|
7
|
PEKAN
BARU
|
Sungai
Siak
|
|
8
|
JAMBI
|
Sungai
Batanghari
|
|
9
|
MEDAN
|
Sungai
Belawan, Deli, Babura, Kera
|
|
10
|
BANDA
ACEH
|
Krueng
Aceh
|
|
11
|
PONTIANAK
|
Sunagi
Kapuas
|
|
12
|
BANJARMASIN
|
Sungai
Barito
|
|
13
|
SAMARINDA
|
Sungai
Mahakam
|
|
14
|
MAKASAR
|
Sungai
Jeneberang
|
|
15
|
GORONTALO
|
Sugai
Bone, Bolango
|
Sumber : Dirjen Pengairan (2010)
Selain
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, dataran banjir juga mengandung
potensi yang merugikan sehubungan dengan terdapatnya ancaman berupa genangan
banjir yang dapat menimbulkan kerusakan dan bencana. Seiring dengan laju
pertumbuhan pembangunan di dataran banjir maka potensi terjadinya kerusakan dan
bencana tersebut mengalami peningkatan pula dari waktu ke waktu. Indikasi
terjadinya peningkatan masalah yang disebabkan oleh banjir di Indonesia dapat
diketahui dari peningkatan luas kawasan yang mengalami masalah banjir sejak
Pelita I sampai sekarang.
Hampir seluruh kegiatan penanganan masalah banjir sampai saat ini
dilakukan oleh Pemerintah, lewat berbagai proyek dengan lebih mengandalkan pada
upaya-upaya yang bersifat struktur (structutal measures). Berbagai upaya
tersebut pada umumnya masih kurang memadai bila dibandingkan laju peningkatan
masalah. Masyarakat baik yang secara langsung menderita masalah maupun yang
tidak langsung menyebabkan terjadinya masalah masih kurang berperan baik
dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan operasi serta pemeliharaan terhadap
sarana dan prasarana fisik pengendali banjir, maupun terhadap upaya-upaya non
struktur. Hal ini didukung oleh kebijakan pembangunan selama ini yang cenderung
sentralistis dan top down, serta adanya berbagai kendala / keterbatasan
yang ada di masyarakat sendiri antara lain menyangkut kondisi sosial, budaya
dan ekonomi.
Selama
tahun 2009 telah terjadi banjir di daerah aliran sungai (DAS) Deli Medan yaitu
pada 4 Januari 2009, mencapai 3 m, merendam 1.500 rumah di pinggiran
sungai Deli; 15 Januari 2009, Sei Deli, mencapai ketinggian 2 m, akibat
hujan deras yang melanda kota Medan seharian di tambah hujan dari hulu sungai
menyebabkan warga yang tinggal di bantaran DAS harus mengungsi. Banjir terparah
di kelurahan Aur, kelurahan Sei Mati ,kelurahan Kampung Baru, kelurahan Hamdan
kecamatan Maimun. Sejumlah warga kelurahan Jati mengungsi untuk menghindari
banjir; 300 kk rumahnya terendam; 5 Mei 2009, banjir kiriman dari dataran
tinggi Tanah Karo mengakibatkan Sungai Deli di Medan meluap, yang menyebabkan
ratusan rumah dan sebuah sekolah yang berada di bantaran sungai terendam air.
Akibatnya sejumlah siswa batal mengikuti ujian. Kondisi terparah dialami warga
yang bermukim di kecamatan Medan Maimun. Seperti yang terlihat di Gang
Al-Fajar, Jln. Brigjen Katamso, kelurahan Sei Mati, ketinggian air mencapai
sedada orang dewasa. Warga terpaksa mengungsi dan memindahkan sebagian perabotan
rumah tangga ke badan jalan Brigjen Katamso Medan; 10 Mei 2009, ratusan
rumah di pinggiran Sungai Deli terendam banjir ketinggian air mencapai 1.5 m.
Banjir berasal ); 5 November 2009, 1.292 rumah terkena banjir akibat hujan
deras yang menurut Camat Medan Maimun, Arfan Harahap ada lima kelurahan yang
terendam banjir seperti kel, Sei Mati 596 kk, kel. Hamdan 338 kk, kel.
Kampung Baru 11 kk, kel. Aur 275 kk dan kel. Sukaraja 65 kk (Waspada, 6
November 2009, hal 11). dari meluapnya Sungai Deli yang terjadi sejak minggu
malam. Luapan air terjadi akibat kiriman air dari hulu Sungai Deli, yakni dari
kecamatan Sibolangit, kiriman air dan curah hujan yang terjadi selama tiga jam.
(http://m.detik.com)
Sungai
Deli adalah sungai yang bersejarah di Kota Medan yang mengalir membelah inti
kota Medan. Sungai ini sering mengalami banjir dan melimpasi areal di
sekitarnya. Bencana banjir tanggal 26 Nopember 1990 tercatat sebagai banjir
yang terutama melimpasi daerah utara kota Medan (daerah utara Helvetia) dengan
seluas 45 km 2 dan mengakibatkan korban jiwa. Sungai Percut yang melintasi di
sekitar kota Medan juga mempunyai kondisi yang hampir sama. Banjir tanggal 23
Desember 1992 mengakibatkan melimpasnya air di daerah sekitar sungai dan daerah
utara, dengan luas yang hampir sama dengan yang diakibatkan banjir sungai Deli.
Limpasan air terjadi karena tidak cukupnya kapasitas volume penampang yang ada
di pinggiran sungai-sungai tersebut.
Kejadian
banjir di kota Medan yang hampir rata-rata 10-12 kali/tahun sangat dipengaruhi
oleh kondisi DAS sungai Deli dan DAS Belawan di daerah hulu. Mencakup kabupaten
Karo, kabupaten Deli Serdang dan kota Medan serta disebabkan oleh 2 (dua) hal
yaitu :
1. Banjir
akibat kiriman dari daerah hulu
2. Banjir
di kota Medan sendiri akibat kondisi drainase kota yang sangat buruk (poor
drainage).Bencana banjir di kota Medan sebagian besar terjadi di sepanjang
sungai Deli.
Daerah
Aliran Sungai (DAS) Deli dengan luas 481,62 km 2 berawal dari pegunungan Bukit
Barisan pada ketinggian 1.725 m di atas permukaan laut hingga pantai Selat
Malaka. Sungai Deli dengan panjang 75,8 km mengalir melalui kota Medan yang
berada di bagian hilir DAS Deli dengan ketinggian berkisar 0-40 m di atas
permukaan laut. Sungai ini merupakan saluran utama yang mendukung drainase kota
Medan dengan cakupan luas wilayah pelayanan sekitar 51% dari luas kota Medan.
Medan
memiliki topografi miring ke utara dan berada pada ketinggian 0 - 40 m di atas
permukaan laut dengan kelembaban dan curah hujan yang relatif tinggi. Mengenai
curah hujan di Tanah Deli, Medan dapat digolongkan dua macam yakni Maksima
Utama yang berarti bagi waktu yang lebih banyak mendapat curah hujan dan
Maksima Tambahan yang berarti bagi waktu yang mendapat lebih sedikit curah
hujan. Maksima Utama terjadi pada bulan Oktober s/d bulan Desember, sedangkan
Maksima Tambahan terjadi antara bulan Januari s/d bulan September. Secara rinci
curah hujan di Medan rata-rata 2000 mm pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4
mm/jam.
Secara
keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir,
tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan
penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens
tahun1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis
tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda
berada di tempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau
Menteng) orang membakar batu bata yang berkualitas tinggi dan salah satu
pabrik batu bata zaman itu bernama Deli Klei.
Perubahan
paradigma penanganan bencana mulai bergeser ke arah pengurangan risiko bencana
yaitu kombinasi dari sudut pandang teknis dan ilmiah terhadap kondisi sosial,
ekonomi dan politis, dan menganalisis risiko bencana, ancaman, kerentanan, dan
kemampuan masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam
mengelola dan mengurangi risiko, dan juga mengurangi terjadinya bencana.
Kegiatannya dilakukan bersama oleh semua para pihak (stakeholder) dengan
pemberdayaan masyrakat.
1.2. Perumusan
Masalah
Dari uraian di atas, yang menjadi permasalahan yaitu:
1. Bagaimana
strategi Manajemen bencana dari Pemerintahan Kota medan dalam
mengahadapi bencana banjir pada masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli
Kota Medan ?
2. Bagaimana Efektifitas
Manajemen bencana dari Pemerintahan Kota medan dalam mengahadapi bencana
banjir pada masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Kota Medan ?
1.3. Tujuan
Penelitian
1. Untuk
mengetahui strategi Manajemen bencana dari Pemerintahan Kota
medan dalam mengahadapi bencana banjir pada masyarakat di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Deli Kota Medan.
2. Untuk
mengetahui Efektifitas Manajemen bencana dari Pemerintahan Kota
medan dalam mengahadapi bencana banjir pada masyarakat di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Deli Kota Medan ?
1.4. Manfaat
Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti bagi peneliti,
pengembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan pemerintah daerah khususnya pada
isu-isu kemiskinan dan penanggulangannya.
a. Bagi
peneliti, untuk meningkatkan pengetahuan serta kemampuan khususnya dalam
penelitian, sehingga mampu mengungkapkan permasalahan yang dihadapi.
b. Bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam konteks isu-isu kemiskinan
dan pembangunan masyarakat.
c. Bagi
masyarakat, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terkait penyebab, dampak
dan bagaimana cara penaggulangan kemiskinan.
d. Bagi
pemerintah Daerah. diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi
bagi stakeholder untuk berpartisipasi dalam penanggulangan bencana
dan menjadi bahan masukan bagi stakeholder penanggulangan
bencana Provinsi Sumatera Utara untuk penyempurnaan penanggulangan bencana.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
4.1. Bencana
Dalam Undang-Undang No.
24 Tahun 2007, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam maupun faktor non-alam sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.
Carter (2001) dalam Kodoatie dan Sjarief (2006) yang
dikutip oleh Purnomo dan Sugiantoro (2010) mendefenisikan bencana
sebagai suatu kejadian alam atau buatan manusia, yang datang secara tiba-tiba
yang menimbulkan dampak yang dahsyat, sehingga masyarakat yang terkena harus
merespon dengan tindakan-tindakan yang luar biasa.
Menurut United Nation Development
Program (UNDP) dalam Ramli (2010), bencana adalah suatu kejadian yang
ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan mempengaruhi
kehidupan manusia, harta benda atau aktivitas sampai pada tingkat yang
menimbulkan bencana.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 mengklasifakasikan
bencana ke dalam tiga jenis, yaitu:
2.1. Bencana
Alam : Merupakan bencana yang besumber dari fenomena alam seperti
gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, pemanasan global, topan dan tsunami.
2.2. Bencana
Non-Alam : Merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non-alam antara lain; gagal teknologi, epidemik, dan wabah
penyakit.
2.3. Bencana
Sosial : Merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia seperti;
konflik sosial, dan aksi teror.
2.1.1. Manajemen Bencana.
Manajemen bencana adalah
upaya sistematis dan komprehensif untuk menanggulangi semua kejadian bencana
secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban jiwa dan kerugian yang
ditimbulkannya (Ramli, 2010: 10).
Manajemen bencana pada dasarnya merupakan konsep
penanggulangan bencana. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, penanggulangan
bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan
yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat,
dan rehabilitasi.
Menurut Ramli (2010) ada
empat tujuan manajemen bencana, yaitu:
1) Mempersiapkan
diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak diinginkan.
2) Menekan
kerugian dan angka korban yang dapat timbul akibat dampak suatu bencana.
3) Meningkatkan
kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasi terhadap bencana
sehingga terlibat dalam proses penanggulangan bencana.
4) Melindungi
anggota masyarakat dari ancaman, bahaya atau dampak bencana.
Manajemen bencana dapat
dibagi atas tiga tingkatan, yaitu pada tingkat lokasi, tingkat unit atau
daerah, dan tingkat nasional atau korporat. Untuk tingkat lokasi disebut
manajemen insiden (incident management), pada tingkat daerah atau unit disebut
manajemen darurat (emergency management), dan pada tingkat nasional disebut
manajemen krisis (crisis management).
1) Manajemen
insiden (incident management) : Yaitu penanggulangan bencana di
lokasi atau langsung di tempat kejadian. Penanggulangan bencana pada tingkat
ini bersifat teknis.
2) Manajemen
darurat (emergency management) : Yaitu penanggulangan bencana di
daerah yang mengkordinir lokasi kejadian. Tingkatan ini meliputi strategi dan
taktis.
3) Manajemen krisis
(crisis management) : Manajemen krisis berada pada tingkat yang lebih
tinggi, yaitu tingkat nasional. Tingkatan ini lebih bersifat strategis dan
penentuan kebijakan.
Tahapan bencana merupakan
suatu proses terencana yang dilakukan untuk mengelola bencana dengan baik dan
aman. Tahapan tersebut pada dasarnya adalah satu kesatuan sistem dalam upaya
penanggulangan bencana. Berikut tahapan manajemen bencana tersebut :
1) Pra bencana.
a) Kesiagaan :
Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah-langkah yang tepat guna
dan berdaya guna. Kesiagaan merupakan tahapan yang paling strategis,
karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam manghadapi datangnya
suatu bencana.
b) Peringatan
dini : Langkah ini diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat akan bencana yang akan terjadi. Peringatan yang diberikan didasarkan
pada berbagai informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki, diolah, atau diterima
dari pihak berwenang mengenai kemungkingan akan terjadinya suatu bencana.
c) Mitigasi : Mitigasi
adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan suatu
bencana (Ramli, 2010).
Pendekatan-pendekatan
dalam mitigasi bencana.
a.
Pendekatan teknis.
1) Membuat
rancangan bangunan yang kokoh.
2) Membuat
material yang tahan terhadap bencana. Contoh: material tahan api.
3) Membuat
rancangan teknis pengaman. Contoh: tanggul.
b. Pendekatan
manusia.
Pendekatan
ini ditujukan untuk membentuk karakter manusia yang paham dan sadar mengenai
bahaya bencana. oleh karenanya hidup manusia harus dapat diperbaiki dengan
kondisi lingkungan dan potensi bencana yang dihadpainya.
c.
Pendekatan administratif.
1) Penyusunan
tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan aspek resiko bencana.
2) Sistem
prizinan dengan memasukkan aspek analisa resiko bencana.
3) Penerapan
kajian bencana untuk setiap kegiatan dan industri bersiko tinggi.
4) Menyiapkan
prosedur tanggap darurat dan organisasi pelaksananya baik pemerintah maupun
industri bersiko tinggi.
d.
Pendekatan kultural.
Pendekatan
ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat
mengenai bencana dan bahaya yang ditimbulkannya. Penyadaran disesuaikan dengan
kearifan lokal dan tradisi masyarakat yang telah membudaya sejak lama (Ibid).
2) Saat terjadi bencana (tanggap darurat).
Tangggap darurat adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana
untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi proses pencarian,
penyelamatan, dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuha n dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, serta pemulihan sarana dan prasarana.
Dalam UU No. 24 Tahun
2007 disebutkan proses penyelengaraan bencana pada saat tanggap darurat sebagai
berikut:
a) Pengkajian
secara cepat dan tepat terhadap loksi, kerusakan, dan sumber daya.
b) Penentuan status
keadaan darurat bencana.
c) Penyelamatan dan
evakuasi.
d) Pemenuhan kebutuhan
dasar.
e) Perlindungan
terhadap kelompok rentan.
f) Pemulihan
dengan segera sarana dan prasarana vital.
3) Pasca bencana.
a) Rehabilitasi :
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
b) Rekontruksi: Rekontruksi
adalah pembangunan kembali semua sarana dan prasarana serta kelembagaan di
wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan
sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perkonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat (Ramli, 2010).
2.1.2 Bencana
Banjir
Menurut
Hasibuan (2004), banjir adalah jumlah debit air yang melebihi kapasitas
pengaliran air tertentu, ataupun meluapnya aliran air pada palung sungai atau
saluran sehingga air melimpah dari kiri kanan tanggul sungai atau saluran.
Dalam kepentingan yang lebih teknis, banjir dapat di sebut sebagai genangan air
yang terjadi di suatu lokasi yang diakibatkan oleh : (1) Perubahan tata guna
lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS); (2) Pembuangan sampah; (3) Erosi dan
sedimentasi; (4) Kawasan kumuh sepanjang jalur drainase; (5) Perencanaan sistem
pengendalian banjir yang tidak tepat; (6) Curah hujan yang tinggi; (7) Pengaruh
fisiografi/geofisik sungai; (8) Kapasitas sungai dan drainase yang tidak
memadai; (9) Pengaruh air pasang; (10) Penurunan tanah
dan rob (genangan akibat pasang surut air laut); (11) Drainase lahan;
(12) Bendung dan bangunan air; dan (13) Kerusakan bangunan pengendali banjir.
(Kodoatie, 2002).
Banjir adalah keadaan
dimana suatu daerah tergenang oleh air dalam jumlah yang begitu
besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba
yang disebabkan oleh tersumbatnya sungai maupun karena penggundulan hutan di
sepanjang aliran sungai (Ramli, 2010: 98).
Menurut Peraturan
Pemerintah No. 38 tahun 2011, banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai
melebihi palung sungai.
2.1.3 Faktor-faktor
Penyebab Banjir.
Berikut beberapa faktor penyebab banjir menurut Ramli
(2010):
a. Curah
hujan tinggi.
b. Permukaan
tanah lebih rendah dari permukaan air laut.
c. Terletak
pada suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran air keluar
sempit atau terbatas.
d. Banyak
pemukiman yang dibangun pada dataran (bantaran) sepanjang sungai.
e. Aliran
sungai tidak lancar akibat banyaknya sampah serta bangunan dipinggir sungai.
f. Kurangnya
tutupan lahan di daerah hulu sungai.
Kodoatie (2002)
menjelaskan faktor-faktor penyebab banjir karena tindakan manusia sebagai
berikut:
a. Perubahan
kondisi Daerah Pengaliran Sungai (DPS).
b. Kawasan kumuh.
c. Sampah.
d. Drainase lahan.
e. Kerusakan
bangunan pengendali banjir.
f. Perencanaan
sistem pengendalian banjir yang tidak tepat.
2.1.4 Penanggulangan
Banjir.
Maryono (2005)
menjelaskan langkah-langkah pokok dalam menyusun pedoman atau kerangka acuan
untuk pembuatan masterplan atau program penanganan banjir. Langkah-langkah
tersebut yaitu:
a. Pemetaan
dan analisis perubahan tata guna lahan di DAS. Hasil dari langkah ini adalah
berupa peta tata guna lahan di DAS perubahannya, serta kaitannya dengan
kejadian-kejadian banjir.
b. Pemetaan dan
analisis wilayah sungai, sempadan sungai, dan alur sungai, baik sungai besar di
hilir maupun sungai kecil di bagian hulu. Dari pemetaan di sepanjang sungai ini
selanjutnya dapat di analisis dengan cermat karakter sungai bersangkutan serta
kaitannya dengan potensi banjir, baik banjir biasa maupun banjir banding.
c. Pemetaan
komponen ekologi retensi alamiah sempadan sungai dan kondisi fisik hidraulik di
sepanjang sempadan sungai. Hasil dari pemetaan ini dapat digunakan untuk
menganalisis kemungkinan peningkatan retensi sepanjang alur sungai.
d. Pemetaan dan
analisis saluran drainase yang masuk ke sungai. Dari hasil pemetaan ini dapat
ditetapkan alur-alur drainase yang perlu diperbaiki.
e. Pemetaan
dan pendataan kondisi daerah pedesaan dan daerah semi urban bagian hulu dan
tengah. Langkah ini labih baik dilaksanakan besama masyarakat, sehingga tujuan
penanganan banjir dapat tercapai, dan masyarakat mendapatkan pembelajaran dai
itu.
f. Pemetaan
sistem makro dan mikro wilayah keairan (sungai, danau, pantai, dan lain-lain)
yang dilanda banjir. Hasil kegiatan ini adalah dapat ditemukan secara pasti
penyebab banjir pada skala mikro dan makro wilayah tersebut. Hasil pemetaan ini
juga dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan kebijakan mengenai
penanggulangan banajir.
g. Pemetaan budaya
masyarakat dan kaitannya dengan penanggulangan banjir.
Selain langkah-langkah di
atas, terdapat langkah-langkah penanggulangan banjir lainnya yang terkait
langsung dengan sungai, yaitu:
1) Reboisasi dan
konservasi hutan di sepanjang DAS dari hulu ke hilir.
2) Penataan tata
guna lahan yang meminimalisir limpasan langsung dan mempertinggi retensi dan
konservasi air di DAS.
3) Tidak melakukan
pelurusan sungai.
4) Mempertahankan
bentuk sungai yang berliku-liku, karena akan mengurangi erosi, dan meningkatkan
konservasi.
5) Memanfaatkan
daerah genangan air di sepanjang sempadan sungai dari hulu ke hilir.
6) Mengubah sistem
drainase konvensional yang mengalirkan air buangan secepat-cepatnya ke hilir
menjadi sistem yang alamiah (lambat), sehingga waktu konservasi air cukup
memadai dan tidak menimbulkan banjir di hilir.
7) Melakukan
relokasi pemukiman yang berada di DAS atau bantaran sungai.
8) Melakukan
pendekatan sosio-hidraulik, yaitu dengan meningkatkan kesadaran masyarakat
secara terus menerus untuk terlibat dalam penanggulangan banjir.
Beberapa tindakan
penanggulangan banjir menurut Ramli (2010):
a. Penataan
daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai dengan fungsi lahan.
b. Pembangunan
sistem pemantauan dan peringatan dini pada bagian sungai yang sering
menimbulkan banjir.
c. Tidak
membangun rumah atau pemukiman di bantaran sungai serta daerah banjir.
d. Mengadakan
program pengerukan sampah di sungai.
e. Pemasangan
pompa untuk daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.
2.2 Kebijakan publik
Konsep atau definisi
kebijakan publik banyak sekali terdapat dalam berbagai literatur. Untuk
keperluan penelitian ini penulis akan mencoba menyebutkan beberapa batasan
konsep mengenai kebijakan publik. Dye (1997:1) mengatakan bahwa
kebijakan publik adalah apapun pilihan yang dilakukan pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Konsep ini tidak cukup mengakui bahwa
mungkin terdapat perbedaan antara apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk
dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah
(Winarno,1989:2).
Sedangkan Easton,(dalam Dye,1997:1) mendefinisikan
kebijakan publik sebagai alokasi nilai yang otoritatif untuk seluruh
masyarakat, akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat berbuat secara otoritatif
untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh pemerintah untuk
dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil dari alokasi nilai-nilai
tersebut. Sejalan dengan itu Lasswell dan Kaplan (dalam Dye,1997:1) telah
menyarankan bahwa kebijakan publik sebagai program yang diproyeksikan dari
tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktika-praktika. Definisi ini menyiratkan
suatu perbedaan antara tindakan pemerintah yang spesifik dan keseluruhan
tindakan dalam mencapai tujuan yang ditentukan. Bagaimanapun suatu masalah yang
memerlukan tindakan tegas pemerintah, harus mempunyai tujuan (goals) agar bisa
dikatakan sebagai " kebijakan", tetapi kita tidak pernah bisa
memastikan ada atau tidaknya tindakan tertentu mempunyai suatu tujuan
(goals) (Dye,1997:1-2).
Menurut Peters (1982:4-5)
kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah, baik pelaksanaannya
dilakukan secara langsung ataupun melalui wakil/agen, yang mana aktivitas
tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan warga negara, dari definisi ini
Peters membagi kebijakan menjadi tiga tingkatan kebijakan, dimana menggambarkan
derajat/tingkat dari kebijakan yang membuat perubahan riil di dalam kehidupan
warganegara.
Di tingkatan yang
pertama, yaitu pilihan kebijakan (policy choices). Keputusan dibuat oleh
politikus, pegawai negeri sipil ataupun orang lain dan mengarah kepada
penggunaan kekuasaan publik untuk mempengaruhi kehidupan warganegara. Di
tingkatan yang kedua, adalah output kebijakan (policy outputs). Pilihan
kebijakan diteruskan menjadi tindakan. Pada tingkatan ini pemerintah melakukan
hal antara lain : membelanjakan uang (spending money), merekrut ataupun
menggunakan orang-orang, memberlakukan peraturan tertentu yang akan
mempengaruhi perekonomian dan masyarakat. Pada akhirnya, di tingkatan yang
ketiga, yaitu dampak kebijakan (policy impacts). Efek dari pilihan kebijakan
dan outcome kebijakan bagi warganegara, ada di dalam suatu kebijakan yang
relatif sempit. Contohnya adalah pilihan kebijakan di bidang perpajakan yang di
buat oleh pemerintah. Peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan
menghasilkan suatu dampak kebijakan yang mengambil lebih dari orang-orang kaya
dibanding dari orang-orang yang lemah/miskin.
Dari keseluruhan definisi
mengenai kebijakan publik terlihat bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan
yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan dan pejabat-pejabat
pemerintah, aktor-aktor dan faktor-faktor bukan pemerintah juga mempengaruhi
perkembangan kebijakan. Ciri-ciri khusus dari kebijakan publik berasal dari
kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh penguasa dalam suatu sistem
politik tertentu. Winarno (1989:3-4) menyatakan sehingga dapat dikatakan bahwa
alternatif kebijakan publik dalam penanggulangan kemiskinan berkaitan erat
dengan proses tahapan, aktor-aktor yang terlibat baik pada saat pembuatan
kebijakan maupun pada saat implementasi kebijakan, dan dasar keterlibatan
sebagai asas legalitas formal.
2.2 Teori Pembangunan Sosial
Definisi pembangunan sosial menurut Midgley (2005:37),
adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana yang didesain untuk
mengangkat kesejahteraan penduduk secara menyeluruh, dengan menggabungkannya
dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis. Mengapa direncanakan? Hal ini
karena diinginkan adanya perubahan manusia dan kesejahteraan.
Lebih lanjut Midgley (2005:38-41) mengajukan ada
delapan aspek yang perlu diperhatikan, diantaranya yaitu:
1) Proses
pembangunan sosial sangat terkait dengan pembangunan ekonomi. Aspek ini yang
membuat pembangunan sosial berbeda ketika dibandingkan dengan pendekatan lain
dalam mengangkat kesejahteraan orang banyak. Pembangunan sosial mencoba untuk
mengaplikasikan kebijakan-kebijakan dan program-program sosial untuk mengangkat
kesejahteraan sosial, pembangunan sosial melakukannya dengan konteks proses
pembangunan.
2) Pembangunan
sosial mempunyai fokus berbagai macam disiplin ilmu (interdisipliner)
berdasarkan berbagai ilmu sosial yang berbeda. Pembangunan sosial secara khusus
terinspirasi dari politik dan ekonomi. Pembangunan sosial juga menyentuh
nilai, kepercayaan dan ideologi secara eksplisit. Dengan isu-isu ideologis,
pembagunan sosial diharapkan dapat lebih baik menciptakan intervensi dalam
menganalisa dan mengahadapi masalah sosial dalam mengangkat kesejahteraan
masyarakat.
3) Konsep
pembangunan sosial lebih menekankan pada proses. Pembangunan sosial sebagai
konsep dinamis memiliki ide-ide tentang pertumbuhan dan perubahan yang bersifat
eksplisit dimana istilah pembangunan itu sendiri lebih berkonotasi pada
semangat akan perubahan yang positif. Secara literal, pembangunan adalah satu
proses pertumbuhan, perubahan, evolusi dan pergerakan. Pembangunan sosial
memiliki tiga aspek, pertama, kondisi sosial awal yang akan diubah dengan
pembangunan sosial,kedua, proses perubahan itu sendiri, ketiga, keadaan
akhir ketika tujuan-tujuan pembangunan sosial telah tercapai.
4) Proses perubahan
yang progresif. Perubahan yang dilakukan berusaha untuk perbaikan bagi
seluruh manusia. Ide-ide akan perbaikan dan peningkatan sosial sangat
dibutuhkan dalam pembangunan sosial.
5) Proses
pembangunan sosial bersifat intervensi. Peningkatan perubahan dalam
kesejahteraan sosial terjadi karena adanya usaha-usaha yang terencana yang
dilakukan oleh para pelaku perubahan, bukan terjadi secara natural karena
bekerjanya sistem ekonomi pasar atau dengan dorongan historis. Proses
pembangunan sosial lebih tertuju pada manusia yang dapat mengimplementasikan
rencana dan strategi yang spesifik untuk mencapai tujuan pembangunan sosial.
6) Tujuan
pembangunan sosial didukung dengan beberapa macam strategi, baik secara
langsung maupun tidak langsung, akan menghubungkan intervensi sosial dengan
usaha pembangunan ekonomi. Keduanya didasari oleh keyakinan dan ideologi yang
berbeda tetapi hal ini dapat diharmonisasikan meskipun masih ditemui kesulitan
untuk merangkum semuanya dalam sebuah sintesa.
7) Pembangunan
sosial lebih terkait dengan rakyat secara menyeluruh serta ruang lingkupnya
lebih bersifat inklusif atau universal. Pembangunan sosial fokus makronya menargetkan
perhatian pada komunitas, daerah dan masyarakat. Pembangunan sosial lebih
tertuju pada mereka yang terlantar karena pertumbuhan ekonomi atau tidak
diikutsertakan dalam pembangunan (orang miskin dalam kota, penduduk desa yang
miskin, etnis minoritas dan wanita). Pembangunan sosial fokusnya bersifat
pembagian daerah (spasial) seperti dalam kota, masyarakat pedesaan, perkotaan,
daerah-daerah atau negara.
8) Tujuan
pembangunan sosial adalah mengangkat kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial
menurut Midgley disini berkonotasi pada suatu kondisi sosial di mana
masalah-masalah sosial diatur, kebutuhan sosial dipenuhi dan terciptanya
kesempatan sosial (2005:21). Bukan sekedar kegiatan amal ataupun bantuan publik
yang diberikan oleh pemerintah (2005:19).
Dari penjelasan tersebut
di atas, terlihat bahwa pembangunan sosial menurut Midgley (2005:34) adalah
pendekatan pembangunan yang secara eksplisit berusaha mengintegrasikan proses
ekonomi dan sosial sebagai kesatuan dari proses pembangunan yang dinamis,
membentuk dua sisi dari satu mata uang yang sama. Pembangunan sosial tidak akan
terjadi tanpa adanya pembangunan ekonomi, begitu pula sebaliknya pembangunan
ekonomi tidaklah berarti tanpa diiringi dengan peningkatan kesejahteraan sosial
masyarakat secara menyeluruh.
Orientasi pembangunan
ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, yang diartikan sebagai suatu
usaha untuk meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh. Paling tidak hal-hal
yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah (a) social
services, (b) social welfare services, dan (c) community development.
Meminjam asumsi Todaro (M. P. Todaro, 2006), ada tiga sasaran yang
seyogyanya dicapai dalam pembangunan sosial, yaitu :Pertama, meningkatkan
ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan pokok.Kedua,
meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas
kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih
besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan
memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa
percaya diri sebagai individu ataupun sebagai suatu
bangsa. Ketiga, memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia
bagi setiap orang dan setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan
dan ketergantungan bukan hanya dalam hubungan dengan orang dan negara lain
tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan manusia.
Pembangunan, dengan
demikian, harus dipahami sebagai suatu proses berdimensi jamak yang melibatkan
perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, dan
kelembagaan nasional. (Prayitno, 2009). Lebih lanjut Moeljarto dalam Prayitno
(2009) berpendapat, bahwa sekurang-kurangnya pembangunan sosial itu memiliki
tiga kategori makna (Moeljarto T., 37-40), yaitu (1) pembangunan sosial
sebagai pengadaan pelayanan masyarakat, (2) pembangunan masyarakat sebagai
upaya terencana untuk mencapai tujuan sosial yang kompleks dan bervariasi, dan
(3) pembangunan sosial sebagai upaya yang terencana untuk meningkatkan
kemampuan manusia untuk berbuat. Beragamnya tujuan dan makna pembangunan
sosial, maka dalam pertemuan ahli dari UNCRD di Nagoya menerima definisi
lengkap sebagai :
"Pembangunan Sosial tidak hanya diukur melalui
peningkatan akses pelayanan seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan,
melainkan melalui kemajuan dalam pencapaian tujuan sosial yang lebih kompleks
dan kadang-kadang beragam seperti persamaan, 'keadilan sosial', promosi budaya,
dan ketentraman batin, juga peningkatan kemampuan manusia untuk bertindak,
sehingga potensi kreatif mereka dapat dikeluarkan dan membentuk perkembangan
sosial" (Moeljarto T., 40).
Kemudian dalam kaitannya
dengan strategi pembangunan sosial yang dapat diterapkan dalam upaya
meningkatkan taraf hidup masyarakat, Midgley (2005:149-201) mengemukakan
ada tiga strategi besar, yaitu:
1. Pembangunan Sosial oleh Individu,
di mana kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dapat diangkat ketika para
individu berusaha untuk mengangkat kesejahteraan mereka masing-masing. Pendekatannya
lebih mengarah pada pendekatan individualis dan
pendekatanenterprise (usaha).
2. Pembangunan Sosial oleh Masyarakat, di
mana masyarakat saling bekerja sama secara harmonis serta memiliki tujuan yang
sama untuk memenuhi kebutuhan mereka, memecahkan permasalahan mereka dan
berusaha menciptakan kesempatan guna memperbaiki hidup. Pendekatannya lebih
dikenal dengan nama pendekatan kemasyarakatan.
3. pembangunan Sosial oleh
Pemerintah, di mana pembangunan sosial dilakukan oleh pemerintah, dengan
agen-agennya yang khusus, pembuatan kebijakan, para perencana dan
administraturnya. Negara mewakili kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan
memiliki tanggung jawab mengangkat kesejahteraan seluruh warganegaranya.
Pendekatannya lebih dikenal dengan nama pendekatan statist / negara.
Berkaitan dengan kondisi
Indonesia yang kompleks, ternyata tidak dapat dipilih satu dari tiga strategi
tersebut, tetapi ketiga strategi tersebut perlu terus dilaksanakan. Artinya,
ketika pemerintah melakukan pembangunan sosial, maka peran-peran dari swasta
dan sektor ketiga (masyarakat madani) terus ditumbuhkan. Sehingga, tidak
terjadi dominasi pemerintah dalam penanganan pembangunan sosial. Masing-masing
pihak terus menunjukkan kiprahnya. Bahkan, bisa melakukan sinergi untuk
mempercepat proses pembangunan sosial. Jika swasta dan sektor lain mampu
memberikan kontribusi pada Negara, maka diharapkan akan dapat mengurangi beban
pemerintah. Sehingga, pemerintah bisa mengalokasikannya untuk program strategis
lainnya (Prayitno, 2009).
2.3 Perubahan Sosial
Setiap kehidupan manusia
akan mengalami perubahan. Perubahan itu dapat mengenai nilai-nilai sosial,
norma-norma sosial, pola prilaku, perekonomian, lapisan-lapisan sosial dalam
masyarakat, interaksi sosial dan yang lainya. Perubahan sosial terjadi pada
semua masyarakat dalam setiap proses dan waktu, dampak perubahan tersebut dapat
berakibat positif dan negatif. Terjadinya perubahan merupakan gejala yang wajar
dalam kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena setiap manusia mempunyai kepentingan
yang tidak terbatas.
Perubahan sosial adalah
proses sosial yang dialami masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan
sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara suka
rela atau di pengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola
kehidupan, budaya dan sistem sosial yang baru. Perubahan sosial terjadi pada
dasarnya karena ada anggota masyarakat pada waktu tertentu merasa tidak puas
lagi terhadap keadaan kehidupanya yang lama dan menganggap sudah tidak puas lagi
atau tidak memadai untuk memenuhi kehidupan yang baru.
Menurut Gillin dan Gillin
(Abdulsyani,2002:163) perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari
cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan geografis,
kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi
ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Selain itu, Selo Soemardjan
berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat,
yang memepengaruhi sistem sosial lainya, termasuk didalam nilai-nilai, sikap,
dan pola prilaku antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat. (Soerjono Soekanto,2007:263).
Soerjono Soekanto
(2000:338) berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan
terjadinya perubahan. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis, teknologis dan
geografis, atau biologis yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek
kehidupan sosial lainnya. Sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa semua kondisi
tersebut sama pentingnya, satu atau semua akan menghasilkan perubahan-perubahan
sosial. Adapun yang menjadi ciri-ciri perubahan sosial itu sendiri antara
lain:
a. Perubahan
sosial terjadi secara terus menerus
b. Perubahan sosial
selalu diikuti oleh perubahan-perubahan sosial lainnya
c. Perubahan-perubahan
sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara
karena berada di dalam proses penyesuaian diri
d. Setiap
masyarakat mengalami perubahan (masyarakat dinamis)
Perubahan sosial tidak
terjadi begitu saja. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi berpendapat bahwa
perubahan sosial dapat bersumber dari dalam masyarakat (internal) dan faktor
dari luar masyarakat (eksternal).
1. Faktor internal
Perubahan sosial dapat disebakan oleh
perubahan-perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Adapun faktor
tersebut antara lain:
1. Perkembangan
ilmu pengetahuan, Penemuan-penemuan baru akibat perkembangan ilmu pengetahuan,
baik berupa teknologi maupun berupa gagasan-gagasan menyebar
kemasyarakat, dikenal, diakui, dan selanjutnya diterima serta
menimbulkan perubahan sosial.
2. Kependudukan,
faktor ini berkaitan erat dengan bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk.
3. Penemuan
baru untuk memenuhi kebutuhannya, manusia berusaha untuk mencoba hal-hal yang
baru. Pada suatu saat orang akan menemukan suatu yang baru baik berupa ide
maupun benda. Penemuan baru sering berpengaruh terhadap bidang atau aspek lain.
4. Konflik
dalam masyarakat, adanya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat
menyebabkan perubahan sosial dan budaya, pertentangan antara indvidu, individu
dengan kelompok maupun antar kelompok sebenarnya didasari oleh perbedaan
kepentingan.
2. Faktor eksternal
Perubahan sosial
disebabkan oleh perubahan-perubahan dari luar masyarakat itu sendiri seperti:
1. Pengaruh
kebudayaan masyarakat lain, Adanya interaksi langsung (tatap muka) antara satu
masyarakat dengan masyarakat lainnya akan menyebabkan saling berpengaruh. Disamping
itu, pengaruh dapat berlangsung melalui komunikasi satu arah, yakni komunikasi
masyarakat dengan media-media massa.
2. Peperangan,
Terjadinya perang antar suku atau antar negara akan berakibat munculnya
perubahan-perubahan pada suku atau negara yang kalah. Pada umumnya mereka akan
memaksakan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh masyarakatnya, ataupun
kebudayaan yang dimilikinya kepada suku atau negara yang mengalami kekalahan.
3. Perubahan
dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia,terjadinya gempa bumi,
topan, banjir besar, gunung meletus dan lain-lain mungkin menyebabkan
masyarakat-masyarakat yang mendiami daerah- daerah tersebut terpaksa harus
meninggalkan tempat tinggalnya dan kemungkinan masih bertahan di daerahnya
tersebut. Hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatanya karena
masyarakatnya harus memulai kehidupan baru kembali. Sebab yang bersuber dari
lingkungan alam fisik kadang-kadang ditimbulkan oleh tindakan para warga
masyarakat itu sendiri.
Strategi Adaptasi
Masyarakat Dalam Bencana Hardesty (1977) mengemukakan tentang adaptasi bahwa:
“adaptation is the process through which benefi cial relationships are
established and maintained between an organism and its environment”, maksudnya,
adaptasi adalah proses terjalinnya dan terpeliharanya hubungan yang saling
menguntungkan antara organisme dan lingkungannya. Sementara itu para ahli
ekologi budaya (cultural ecologists) (Alland, 1975;
Harris, 1968; Moran,
1982) mendefi nisikan, bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri
yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap
perubahan-perubahan lingkungan dan sosial. Dalam kajian adaptabilitas manusia
terhadap lingkungan, ekosistem merupakan keseluruhan situasi, di mana
adaptabilitas berlangsung atau terjadi.
Karena populasi manusia
tersebar di berbagai belahan bumi, konteks adaptabilitas sangat berbeda-beda.
Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi
lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi atau
masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu
proses perubahan akan dimulai dan dapat saja membutuhkan waktu yang lama untuk
dapat menyesuaikan diri (Moran 1982). Sahlins (1968) menekankan bahwa proses
adaptasi sangatlah dinamis, karena lingkungan dan populasi manusia terus dan
selalu berubah. Smit dkk., (1999) dalam kajiannya mengenai perubahan iklim,
mengartikan adaptasi sebagai penyesuaian di dalam sistem ekologi-sosial-ekonomi
sebagai respon terhadap kondisi ikilm dan dampaknya.
Smit dan Wandel (2006)
juga menyatakan bahwa adaptasi manusia dalam perubahan global merupakan
proses dan hasil dari sebuah sistem, untuk mengatasi dan menyesuaikan diri
terhadap perubahan, tekanan, bahaya, risiko, dan kesempatan. Dalam perubahan
iklim terdapat 2 peran adaptasi yaitu sebagai bagian dari penilaian dampak
dengan kata kunci yaitu (1) adapatasi yang dilakukan, dan (2) respon kebijakan
dengan kata kunci rekomendasi adaptasi. Kerangka dalam mendefi niskan adaptasi
adalah dengan mempertanyakan: (1) adaptasi terhadap apa?; (2) siapa atau apa
yang beradaptasi?; dan (3) bagaimana adaptasi berlangsung?. Hal ini berarti
bahwa adaptasi adalah proses adaptasi dan kondisi yang diadaptasikan.
2.4 Pola Adaptasi Sosial
Adaptasi adalah suatu
penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah
diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah
lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi (Gerungan,1991:55).
Menurut Karta Sapoetra
adaptasi mempunyai dua arti. Adaptasi yang pertama disebut penyesuaian diri
yang autoplastis (auto artinya sendiri, plastis artinya bentuk), sedangkan
pengertian yang kedua disebut penyesuaian diri yang allopstatis (allo artinya
yang lain, palstis artinya bentuk). Jadi adaptasi ada yang artinya “pasif” yang
mana kegiatan pribadi di tentukan oleh lingkungan. Dan ada yang artinya
“aktif”, yang mana pribadi mempengaruhi lingkungan (Karta Sapoetra,1987:50).
Menurut Suparlan (Suparlan,1993:20)
adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi
syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Syarat-syarat dasar
tersebut mencakup:
1. Syarat dasar
alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kesetabilan
temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara
menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya).
2. Syarat dasar
kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut,
keterpencilan gelisah).
3. Syarat dasar
sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak
merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat
mempertahankan diri dari serangan musuh).
Menurut Soerjono Soekanto
(Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi
sosial, yakni:
a. Proses
mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
b. Penyesuaian
terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
c. Proses
perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
d. Mengubah agar
sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
e. Memanfaatkan
sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.
f. Penyesuaian
budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari batasan-batasan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian.
Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma,
proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan.
Lebih lanjut tentang proses
penyesuaian tersebut, Aminuddin menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan
tujuan-tujuan tertentu (Aminuddin, 2000: 38), di antaranya:
a. Mengatasi
halangan-halangan dari lingkungan.
b. Menyalurkan
ketegangan sosial.
c. Mempertahankan
kelanggengan kelompok atau unit sosial.
d. Bertahan hidup.
Di dalam adaptasi juga
terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Suyono
(1985), pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang sudah menetap mengenai
suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau
mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut diatas, pola
adaptasi dalam penelitian ini adalah sebagai unsur-unsur yang sudah menetap
dalam proses adaptasi yang dapat menggambarkan proses adaptasi dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam interaksi, tingkah laku maupun dari masing-masing
adat-istiadat kebudayaan yang ada.
Proses adaptasi
berlangsung dalam suatu perjalanan waktu yang tidak dapat diperhitungkan dengan
tepat. Kurun waktunya bisa cepat, lambat, atau justru berakhir dengan
kegagalan. Bagi manusia, lingkungan yang paling dekat dan nyata adalah alam
fisio-organik. Baik lokasi fisik geografis sebagai tempat pemukiman yang
sedikit banyaknya mempengaruhi ciri-ciri psikologisnya, maupun kebutuhan
biologis yang harus dipenuhinya, keduanya merupakan lingkungan alam
fisio-organik tempat manusia beradaptasi untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Alam fisio organik disebut juga lingkungan eksternal.
Adaptasi dan campur
tangan terhadap lingkungan eksternal merupakan fungsi kultural dan fungsi
sosial dalam mengorganisasikan kemampuan manusia yang disebut teknologi.
Keseluruhan prosedur adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan eksternal,
termasuk keterampilan, keahlian teknik, dan peralatan mulai dari alat primitif
samapai kepada komputer elektronis yang secara bersama-sama memungkinkan
pengendalian aktif dan mengubah objek fisik serta lingkungan biologis untuk
kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup manusia. (Alimandan, 1995:56).
Stategi adaptasi yang
dilakukan dalam masyarakat pasca bencana alam dapat dilakukan dengan
penanggulangan bencana alam yang tepat, agar masyarakat bisa aktif kembali
pasca bencana alam. Besarnya potensi ancaman bencana alam yang setiap saat
dapat mengancam dan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
Indonesia serta guna meminimalkan risiko pada kejadian mendatang, perlu
disikapi dengan meningkatkan kapasitas dalam penanganan dan pengurangan risiko
bencana baik di tingkat Pemerintah maupun masyarakat. Sejauh ini telah tersedia
perangkat regulasi penanggulangan bencana, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 yang
memberikan kerangka penanggulangan bencana, meliputi prabencana, tanggap
darurat, dan pascabencana. Aktivitas penanggulangan bencana yang menjadi prioritas
utama meliputi: mitigasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
1. Mitigasi yaitu
upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah apa yang akan terjadi terutama
berdampak negatif pada lingkungan akibat bencana alam.
2. Rehabilitasi
yaitu pemulihan kembali yang dilakukan terhadap kerusakan-kerusakan berupa
fisik dan infrastruktur akibat bencana alam.
3. Rekontruksi
yaitu membangun kembali dari kerusakan kerusakan yang terjadi akibat bencana
alam. Penaggulangan bencana yang telah ditetpakan pemerintah dibuat guna
membangun kembali daerah yang terkena bencana menggingat indonesia rawan akan
bencana alam.
2.5 Konsep Pemberdayaan
Menurut Kartasasmita
(1996), berdasarkan maknanya, pemberdayaan dapat diartikan sebagai kekuatan
yang berasal dari ‘dalam’ yang dapat diperkuat dengan unsur-unsur dari ‘luar’.
Sejalan dengan itu, Payne (dalam Kartassasmita 1996) mengatakan bahwa
pemberdayaan pada intinya ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya untuk
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang ia dilakukan yang terkait
dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan. Lebih lanjut Payne mengatakan bahwa “hal itu dapat
dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan
daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
Konsep pemberdayaan yang dikemukakan oleh Kartasasmita dan Payne tersebut
menunjukkan bahwa pemberdayaan merupakan sesuatu yang dapat dilakukan
(diintervensi). Artinya, pemberdayaan merupakan suatu
aksi (action) yang ditujukan pada orang, kelompok, komunitas,
masyarakat yang tidak berdaya hingga menjadi berdaya atau memandirikan
masyarakat.
Konsep tersebut sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Soetomo (2006) yang menyebutkan bahwa dengan
pemberdayaan diharapkan akan dapat meningkatkan akses kelompok miskin dalam
proses pengambilan keputusan, akses terhadap fasilitas dan pelayanan, akses
terhadap bantuan hukum, meningkatkan posisi tawar (bargaining position),
serta mengurangi peluang terjadinya eksploitasi oleh kelompok lain.
Pemberdayaan menurut Adi
(2003), merupakan proses yang berkesinam-bungan sepanjang hidup
seseorang (on-going process). Ini menunjukkan bahwa program-program
pemberdayaan harus benar-benar dirancang sebagai proses yang berkelanjutan,
bukan program pemberdayaan yang hanya sebagai “proyek” yang temporer sifatnya.
Artinya, program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh berbagai stakeholders
(pemerintah dan non pemerintah) tidak berakhir dengan selesainya suatu program.
Proses pemberdayaan hendaknya harus berlangsung selamanya, meskipun pada
awalnya harus ada intervensi dari luar, namun harus tercipta suatu keadaan
dimana komunitas tersebut mampu secara mandiri menjalankan proses pemberdayaan
tersebut bagi komunitas mereka.
Pemberdayaan (empowering) sebagai
suatu upaya untuk mereduksi kemiskinan yang dialami oleh suatu komunitas
menurut Kartasasmita (1996) dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu: 1)
Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling) dengan
memper-kenalkan bahwa setiap masyarakat memiliki potensi (budaya) untuk
berkembang; 2) Memperkuat posisi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dengan
menyediakan input serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat
masyarakat menjadi berdaya dalam memanfaatkan peluang; 3) Melindungi masyarakat
yang lemah dalam proses pemberdayaan agar tidak menjadi semakin lemah oleh
kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang kuat.
Proses pembangunan saat
ini perlu memahami dan memperhatikan prinsip pembangunan yang berakar dari
bawah (grassroots), memelihara keberagaman budaya, serta menjunjung tinggi
martabat serta kebebasan bagi manusia. Pembangunan yang dilakukan harus memuat
proses pemberdayaan masyarakat yang mengandung makna dinamis untuk
mengembangkan diri dalam mencapai kemajuan.
Konsep yang sering
dimunculkan dalam proses pemberdayaan adalah konsep kemandirian di mana
program-program pembangunan dirancang secara sistematis agar individu maupun
masyarakat menjadi subyek dari pembangunan. Walaupun kemandirian, sebagai
filosofi pembangunan juga dianut oleh negara-negara yang telah maju secara
ekonomi, tetapi konsep ini lebih banyak dihubungkan dengan pembangunan yang
dilaksanakan oleh negara-negara sedang berkembang.
Kemandirian dan
kesejahteraan tentu tak boleh hanya tegak di satu aspek. Masyarakat harus
diberdayakan dengan berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, budaya, sosial,
pendidikan dan bahkan kesehatan. Berbagai kegiatan sudah menjurus pada
pemberdayaan perempuan yang baik, tetapi seringkali, pemahaman kita pada
‘kesejahteraan’ hanya sekedar masalah ekonomi dan status sosial. Padahal,
sejahtera bermakna luas dan mencakup aspek kehidupan yang menyeluruh. (Aliyah,
2012)
Pembangunan masyarakat
merupakan usaha-usaha yang terorganisir yang bertujuan untuk memperbaiki
kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu
dan mengarahkan diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui
peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari
individu-individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan
teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela.
Konsep pemberdayaan dapat
dikatakan merupakan jawaban atas realitas ketidakberdayaan (disempowerment).
Prinsip memperlakukan masyarakat sebagai subyek dan obyek pembangunan harus
menjadi komitmen bagi pelaksana pembangunan. Idealnya pemerintah dapat menjadi
fasilitator yang bertugas memberi pelayanan, sedangkan dari pihak masyarakat
berperan sebagai pelaku utama dalam proses pembangunan yang saat ini harus
dilayani dan ditumbuhkan prakarsa serta partisipasinya.
Ketidakberdayaan
masyarakat yang disebabkan oleh ketiadaan daya (powerless) perlu diperhatikan.
Untuk itu masyarakat perlu memiliki beberapa jenis daya yang dapat digunakan
untuk memberdayakan mereka sendiri, antara lain:
1. Power terhadap
pilihan pribadi, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan
pilihan pribadi atau kesempatan untuk hidup lebih baik.
2. Power terhadap
pendefinisian kebutuhan, yaitu mendampingi masyarakat untuk merumuskan
kebutuhannya sendiri.
3. Power terhadap
kebebasan berekspresi, yaitu mengembangkan kapasitas masyarakat untuk bebas
berekspresi dalam bentuk budaya publik.
4. Power terhadap
institusi, yaitu meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap kelembagaan
pendidikan, kesehatan, keluarga, keagamaan, sistem kesejahteraan sosial,
struktur pemerintahan, media dan sebagainya.
5. Power terhadap
sumber daya, yaitu meningkatkan aksesibilitas dan kontrol terhadap aktivitas
ekonomi.
6. Power terhadap
kebebasan reproduksi, yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam
menentukan proses reproduksi (Ife, 1995).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Desain Penelitian
Desain
penelitian yang digunakan bersifat deskriptif, yaitu suatu metode yang meneliti
status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem
pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian
deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki. Nazir (1988:63) menyatakan selain itu
pertimbangan lainnya adalah dengan mengingat luasnya cakupan penelitian yang
dilakukan, sehingga diharapkan mampu menggiring peneliti dekat dengan
subjek-subjeknya dan sensitif terhadap konteks. Selain itu desain penelitian
ini diharapkan memberikan kemungkinan informasi yang lebih luas untuk
mendeskripsikan realitas yang ada (Brannen,2002:90).
Lebih
lanjut sebagaimana dikemukakan oleh Cassell dan Symon (1994:4-6), ada
beberapa karateristik penting dalam jenis penelitian kualitatif yaitu: (1)
mempertimbangkan apa yang dianggap bisa dipahami untuk mengurangi quantifiable
term; (2) kurang begitu memberikan penekanan pada pembatasan apriori
classification; (3) memberikan fleksibelitas dalam penelitian; (4)
cukup sensitif untuk memberikan analisis yang terperinci terhadap sebuah
perubahan; (5) bisa berlangsung hanya pada natural setting, sehingga bisa
memberikan pandangan secara holistik terhadap situasi atau organisasi
yang diamati; (6) fokus studi adalah pemahaman
terhadap life-word dari individu, serta; (7) peneliti harus bertindak
proaktif dalam mendefinisikan persoalan-persoalan penting dalam hubungan dengan
penelitian.
3.2.Lokasi
Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Kota Medan dengan mengambil lokus penelitian pada Kelurahan
yang terletak di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Deli. Adapun yang
paling parah mterkena dampak banjir setiap tahun adalah Kelurahan Aur di
Kecamatan medan Maimun.
3.3
Teknik Pengumpulan Data
Dalam
setiap proses penelitian, pengumpulan data bertujuan untuk mengungkapkan fakta
mengenai perihal yang diteliti. Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode
yang dijadikan acuan untuk mengumpulkan data, yaitu sebagai berikut:
1. Penulis
melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara langsung dan mendalam. Dimana
peneliti akan mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan fokus
masalah di dalam tesis ini Dalam teknik pengumpulan data ini guna memperoleh
data maka percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan, dengan narasumber yang merupakan orang yang dianggap
peneliti adalah merupakan representative mewakili organisasi, agama, pekerjaan,
kondisi ekonomi dan jenis kelamin.
2. Studi
Pustaka (Library Research). Selain melakukan wawancara peneliti juga
melakukan teknik pengumpulan data melalui pengumpulan studi pustaka, yaitu
suatu teknik pengumpulan data yang berdasarkan bahan-bahan bacaan yang
berhubungan dengan penelitian.Dengan membaca sumber-sumber literatur yang ada
kaitannya dengan masalah penelitian ini.berupa buku-buku, jurnal, artikel,
majalah, surat-kabar, opini, dan informasi tertulis lainnya.
3.4 Sumber
Data
1. Data
Primer
Data
primer adalah data yang diperoleh di lapangan atau di daerah
penelitian. Data primer merupakan data yang belum diolah atau data mentah
berupa wawancara dan data ini diperoleh melalui tekhnik wawancara langsung.
Adapun data primer pada penelitian ini, yakni:
2. Data
sekunder
Data
sekunder adalah Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan cara
membaca buku, literatur-literatur, jurnal, koran dan berbagai informasi lainya
yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Data sekunder ini dimaksudkan
sebagai data penunjang guna melengkapi data primer.
3.5 Informan
Penelitian
Penelitian
kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil
penelitiannya. Oleh Karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya
populasi dan sampel (Bagong Suyanto, 2005:171). Subjek penelitian yang telah
tercermin dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian
ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan
selama proses penelitian. Informan adalah seseorang yang benar-benar mengetahui
suatu persoalan atau permasalahan tertentu yang darinya dapat diperoleh
informasi yang jelas, akurat, dan terpercaya baik berupa pernyataan, keterangan
atau data-data yang dapat membantu dalam memahami persoalan atau permasalahan
tersebut.
Informan
penelitian ini adalah seluruh pemangku kepentingan dalam nitigasi banjir dan
masyarakat yang menjadi korban. Adapun rencana Infroman yang akan diwawncari
adalah sebagai berikut :
1. Pemerintahan
Kota Medan melalui Badan Perencanaan Pembangunan (BAPPEDA)
2. Dinas
Tata Ruang dan Tata Bangunan Medan
3. Badan
Pemberdayaan Masyarakat Kota Medan
4. Akademisi
5. Korban
banjir sebanyak 5 orang (bila dibutuhkan akan dapat di tambah sesuai dengan
kebutuhan data)
3.6 Analisis
Data
Analisis
data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis
deskriptif kualitatif, meskipun data yang dipergunakan ada yang bersifat
kuantitatif. Data yang dihimpun baik berupa data primer maupun sekunder
selanjutnya disusun, dianalisis dan diinterpretasikan untuk kemudian ditarik
suatu kesimpulan logis sebagai hasil penelitian. Adapun langkah-langkah yang
ditempuh dalam teknik analisis data adalah sebagai berikut :
a. Melakukan
penilaian dan analisis data dengan menggunakan prinsip validitas.
b. Melakukan
pengkajian terhadap data yang diperoleh.
c. Melakukan
pemetaan terhadap fenomena yang diperoleh.
d. Membuat
alternatif kebijakan tentang penanggulangan kemiskinan masyarakat pada kedua
unit analisis serta menentukan kriteria-kriteria dasar untuk menilai kebijakan.
e. Mengevaluasi
alternatif-alternatif kebijakan yang telah disusun dan dibuat suatu rekomendasi
alternatif kebijakan yang terpilih.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto.
2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas :
Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi UI.Agustino Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik.
Bandung: Alfabeta.
Brannen, Julia, diterjemahkan oleh Nuktah
Arfawie Kurde dkk, 2002, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif, , Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda bekerjasama dengan
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cassel, Chaterine, dan Gillian Symon,
(ed), 1994, Qualitative Methode in Organization Research, A Pratical
Guide, Sage Publications, Singapore.
Bakornas PB. 2007. Pedoman Penanggulangan
Banjir Tahun 2007-2008. Jakarta.
Bappenas. 2007. Peluncuran Buku Rencana
Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana Tahun 2006-2009. Jakarta.
Carter, W. Nick. 1991. Disaster
Management: A Disaster Manager’s Handbook. Manila: ADB
CSO – NAD. 2007. Laporan Kajian Strategis
Program Civil Society Organization (CSO). Jakarta.
Dekens, Julie. 2007. Pengetahuan Lokal
tentang Kesiapsiagaan dalam menghadapi Banjir: Contoh-contoh dari Nepal dan
Pakistan. Jakarta.
Direktorat Sungai Dirjen
Pengairan, Flood Control Manual, 2010.
Dye, Thomas R., 1972, Understanding
Public Policy, Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs, New Jersey
Edi, Suharto, 2009, Kemiskinan dan
Perlindungan sosial di Indonesia, Alfabeta, Bandung
ICIMOD, 2007. The Snake and the River
Don’t Run Straight. Local Knowledge on Disaster Preparedness in the Eastern
Terai of Nepal and Herders of Chitral. Local knowledge on Disaster Preparedness
in Chitral District, Pakistan.
Ife, J. 1995, Community Development:
Creating Community-Vision, Analysis and Practice. Longman. Australia.
Kartasasmita, Ginandjar,
1996, Arah Pembangunan Ekonomi Dalam Pelita VI, Universitas
Brawijaya. Fakultas Ilmu Administrasi, Malang
Khaira Nuswatul, 2010, Pengaruh
Pengetahuan, Sikap Dan Pendidikan Kepala Keluarga Terhadap Kesiapsiagaan Rumah
Tangga Dalam Menghadapi Banjir Di Desa Pelita Sagoup Jaya Kecamatan Indra Makmu
Kabupaten Aceh Timur.
Kodoatie, Robert J dan Sugiyanto.
2002. Banjir, Beberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya.Yogyakarta.
Pustaka Pelajar
Kodoatie, Robert dan Roestam. 2006.
Pengelolaan Bencana Terpadu: Banjir, Longsor, Kekeringan dan Tsunami. Yusuf
Watampone Press. Jakarta
---------------------------------------. 2008. Pengelolaan
Sumber Daya Air Terpadu.Andi.Yogyakarta
Kolopaking, Lala M. 2008. Pengurangan
Risiko Bencana Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Seminar Nasional Kesiapsiagan
Penanggulangan Bencana di Indonesia. Pusat Studi Bencana IPB. Bogor
LIPI – UNESCO/ISDR. 2006. Kajian
Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami.
Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Ma’mun. 2007. Mengurai Ancaman Banjir
Jakarta. Pustaka Cerdasindo, Jakarta
Maryono, Agus. 2005. Eko-Hidraulik
Pembangunan Sungai, Menanggulangi Banjir dan Kerusakan Lingkungan Wilayah
Sungai. Yogyakarta. Magister Sistem Teknik Program Pascasarjana UGM.
Midgley,james. (2005). Pembangunan
Sosial, perspektif pembangunan dalam kesejahteraan sosial. Jakarta : Ditperta
Islam
Misra. 2007. Antisipasi Rumah di Daerah
Rawan Banjir. Griya Kreasi, Jakarta.
Nazir, Moh, 1988, Metode
Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta
Pemko Medan. 2003. Penelitian dan
Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya Daerah Medan.
Peters, B. Guy, 1982, American Public
Policy, Franklin Watts, New York
Prayitno, H dan B. Santosa.
2009. Ekonomi Pembangunan. Ghalia Indonesia,Jakarta.
Purnomo, Hadi dan Ronny Sugiantoro.
2010. Manajemen Bencana, Respon dan Tindakan Terhadap
Bencana. Yogyakarta. Media Pressindo
Ramli, Soehatman. 2010. Pedoman
Praktis Manajemen Bencana (Disaster Management).Jakarta. Dian Rakyat.
Siswoko (2007). “Banjir, Masalah banjir
dan Upaya Mengatasinya”. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional
Peringatan Hari Air Dunia ke -15 Tahun 2007; “Mengatasi Kelangkaan Air dan
Menangani Banjir Secara Terpadu.”
Soetomo, 2006. Strategi-strategi
Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susanto. 2006. Disaster Manajemen di
Negeri Rawan Bencana. Cetakan Pertama, PT Aksara Grafika Pratama, Jakarta.
Suyanto, Bagong. 2005. Metode Penelitian
Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media.
Syamsul, Ma’arif. 2007/2008. Pedoman
Penanggulangan Bencana Banjir. Jakarta.
Todaro M.P. 2006. Pembangunan Ekonomi di
Dunia Ketiga, Penerbit Erlangga, Jakarta
Twigg John. 2007. Karakteristik Masyarakat
Tahan Bencana. DFID Disaster Risk Reduction Interagency Coordination Group
Winarno, Budi, 1989, Teori
Kebijaksanaan Publik, PAU-Studi Sosial UGM, Yogyakarta
Sumber lainnya :
Aliyah, Fara Julyta, 2012, Program
Pemberdayaan Perempuan : Sudahkah
berjaya?http://www.ccde.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=567:program-pemberdayaan-perempuan--sudahkah-
berjaya& catid=2:sorotan &Itemid=3
Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya
Mitigasinya di Indonesia. Jakarta
UNDP-Indonesia. 2007. Kerangka Kerja
Pengurangan Risiko Bencana, Rencana Aksi Provinsi Nangroe Aceh Darusalam.
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar