ANALISIS GEOLOGI TEKNIK KEGAGALAN LERENG PADA BANGUNAN EMBUNG DI KAWASAN
CAGAR ALAM GEOLOGI KARANGSAMBUNG
(Studi Kasus : Instabilitas Embung dan Cara
Mengatasinya)
ABSTRAK
Wilayah Karangsambung sebagian besar pengairan sawahnya adalah tadah
hujan. Di daerah ini pada tahun 2010 dibangun embung untuk menampung air hujan,
tepat berada diatas material tanah hasil pelapukan batuan rijang dengan
kemiringan lereng bervariasi. Saat ini embung tersebut telah mengalami
kegagalan lereng / longsor. Investigasi geologi teknik dilakukan guna
mengetahui karakteristik sifat fisik tanah pada bangunan tersebut untuk
mengevaluasi faktor penyebab kegagalan lereng embung. Berdasarkan hasil
investigasi lapangan dan uji ifat fisik pada contoh tanah, kegagalan lereng
embung tersebut diawali dengan pemunculan retakan pada lereng embung yang
terasosiasi dengan sifat pengembangan sedang dari jenis tanah lanau dengan
plastisitas tinggi (MH) dengan jenis mineral lempung kaolinit. Untuk mengatasi
permasalahan ketidakstabilan lereng embung ini maka dilakukan tindakan
penutupan pada bagian lereng dengan shot-crete
atau pasangan batu untuk mencegah air hujan meresap ke dalam tanah dan
mencegah proses kembang susut tanah
pada lereng embung. Dapat juga dilakukan dengan menanam tumbuhan yang berakar
serabut untuk melindungi tanah dari bahaya erosi.
Kata
kunci : Longsoran,
geologi teknik, embung, sifat kembang-susut.
ABSTRACT
Rice production of Karangsambung
area is largely harvested from rainfed lowland rice fields. In this area in
2010 has built a pond to collect rain water, which directly above the soil
material result of deeply weathered chert with slope varies. Currently the pond
had been occured slope failure/landslide. Engineering geological investigation
was conducted to determine the characteristics of the physical properties at
the pond and to evaluate the factors that may cause a stable slope to become
unstable. Based on the results of the field investigations and physical
properties of the soil samples indicated that a failure surface of the pond
slopes almost begins with the appearance of parallel cracks to the pond slope
surface associated with the silt with a high degree of plasticity (MH), which
is classified as kaolinite. The problem of the pond slope instability by
closing or make sure the surface protection such as masonry, plaster or
shotcrete to prevent
rain water to seep into the soil and reduce the tendency of soil to swell and
shrink. Can also be done by planting plants that are rooted fibers to protect
the soil from erosion.
Keywords
: landslide,
geotechnics, pond, swell and shrink
PENDAHULUAN
Tanah merupakan salah satu aspek
penting kaitannya dalam setiap pekerjaan teknik sipil. Beberapa permasalahan
yang sering dijumpai di lapangan terkait dengan bangunan teknik adalah akibat
dari sifat teknis tanah yang dapat dikatakan buruk, diantaranya ditandai dengan
kadar air yang tinggi dan daya dukung yang rendah. Das (1994) menyebutkan bahwa
air sangatlah berpengaruh sekali terhadap sifat fisis dan mekanis tanah. Tanah
yang dapat mengalami perubahan volume secara signifikan akibat dari perubahan
kadar airnya merupakan jenis tanah yang mempunyai potensi kembang susut. Tanah
dengan jenis ini merupakan tanah lempung yang banyak mengandung mineral dengan
potensi kembang (swelling potential),
kondisi tanah seperti ini lebih dikenal dengan tanah lempung ekspansif
(Hardiyatmo, 2006). Faktor-faktor lingkungan, diantaranya faktor iklim, curah
hujan, sistem drainase dan fluktuasi muka air tanah sangat berpengaruh terhadap
proses kembang tanah lempung ekspansif. Proses mengembang merupakan proses yang
lebih komplek dibandingkan dengan proses penyusutannya (Yong dan Warketin,
1975). Dari hasil analisis karakter curah hujan pemicu gerakan tanah diketahui
bahwa hujan yang meresap kedalam tanah dapat menimbulkan peningkatan tekanan
air pori kritikal, sehingga terjadi gangguan pada kestabilan lereng (Tohari, dkk, 2005).
Peningkatan kuat geser tanah residual mengikuti kedalaman, kohesi meningkat terhadap
kandungan lempung dan sudut geser akan menurun dengan meningkatnya kadar
lempung (Setiadji dkk, 2006; Raharjo, 2005).
Dalam membangun suatu kontruksi
bangunan, tanah dasar merupakan bagian yang sangat penting, hal ini berhubungan
dengan daya dukung seluruh badan kontruksi dari atasnya. Jika tanah dasarnya
berupa lempung yang mempunyai daya dukung rendah, maka bangunan yang ada akan
sering mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh kondisi tanahnya.
Desa Seboro merupakan salah satu desa di Kecamatan
Karangsambung, Kabupaten Kebumen. Daerah ini sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani, selain itu daerah ini akan dijadikan sebagai desa
agrowisata di kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung. Beberapa tahun
terakhir, bencana kekeringan telah melanda Kecamatan Karangsambung, Kabupaten
Kebumen. Hal tersebut diperkirakan, salah satunya disebabkan oleh adanya
penurunan debit sungai yang mengalir di Kabupaten Kebumen, beberapa diantaranya
Sungai Luk Ulo, Sungai Kalibanda, dan Sungai Telomoyo. Hasil penelitian Raharjo
(2010) melalui
pendekatan teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)
menyebutkan bahwa beberapa parameter fisiografi bentuk lahan, kondisi akuifer,
serta faktor input utama curah hujan sangat mempengaruhi potensi kekeringan di
Kabupaten Kebumen, khususnya wilayah Kecamatan Karangsambung.
Keberadaan embung (waduk berukuran kecil) di Desa
Seboro diharapkan dapat memenuhi kebutuhan air irigasi terutama pada saat musim
kemarau. Indikasi degradasi lahan secara tidak langsung berhubungan dengan permasalahan kekeringan. Oleh karena itu
untuk mendukung Desa Seboro sebagai desa agrowisata di kawasan Cagar Alam Geologi
Karangsambung, Yayasan Obor membuat konstruksi pada bagian dasar embung
berlapis geomembran untuk menampung
air pada saat musim penghujan pada tahun 2010. Embung tersebut telah beberapa
kali mengalami kegagalan lereng / longsor, terutama pada tahun 2013 bisa
dikatakan mengalami kerusakan parah. Beberapa cara dalam usaha penanggulangan
longsor pada tubuh embung telah dilakukan, akan tetapi kerap kali gagal
terutama pada saat musim hujan datang.
Investigasi geologi teknik dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab
kegagalan lereng embung berdasarkan sifat fisik dan mekanik lapisan tanah di
lereng embung. Data hasil analisis dapat digunakan sebagai data pendukung
memberikan cara penanggulangan kegagalan lereng embung tersebut.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dalam 2 (dua) tahapan yaitu investigasi
lapangan dan uji laboratorium (Gambar 1). Investigasi lapangan dilakukan untuk
mengetahui karakteristik batuan, penggunaan lahan, dimensi embung, dimensi
longsoran dan pengambilan contoh tak terganggu (undisturbed) pada kedalaman 2 – 3 meter dari permukaan tanah di
lokasi longsoran embung.
Uji laboratorium pada conto-conto tanah dilakukan guna menentukan
sifat-sifat fisik dan keteknikan tanah meliputi : uji kadar air (w) berdasarkan
SNI03-1965-1990, pengujian berat jenis (Gs) berdasarkan SNI03-1964-1990, analisis batas-batas Atterberg digunakan
untuk menentukan nilai Indeks Plastisitas tanah (IP) berdasarkan acuan
SNI03-1967-1990 dan SNI03-1966-1990, distribusi besar butir berdasarkan acuan
SNI03-1968-1990 dan uji triaxial guna menentukan kohesi efektif dan sudut geser
dalam efektif untuk mengetahui tegangan geser tanah berdasarkan
SNI03-2455-1991. Pengujian dilakukan di laboratorium mekanika tanah dan batuan
Pusat Sumber Daya Air Tanah Dan Geologi Lingkungan, Bidang Geologi Teknik
(ESDM).
Gambar 1.
Lokasi daerah penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI
Berdasarkan hasil investigasi di lapangan diketahui
bahwa embung dibangun dengan menggunakan lapisan bahan geomembran pada morfologi perbukitan struktural dengan ketinggian ± 250 mdpl. Dimensi luas lahan untuk
keseluruhan bangunan embung beserta tanggulnya ± 7.000 – 9.000 m2 dengan panjang
sisinya 23 meter untuk kapasitas 8.000 m3 air, dengan
kemiringan 65o. Pengisian air waduk dari air hujan, dengan curah hujan
setempat yang ideal antara 2.500 – 4.000 mm/thn, hal ini untuk menentukan
kedalaman waduk agar bisa penuh disaat musim penghujan. Setiap curah hujan
1.000 mm berbanding lurus dengan 1 meter
Gambar 2.
(a) Foto embung (waduk kecil) kearah timur, (b) foto embung kearah barat
Embung ini telah mengalami 3 kali longsoran (Gambar 3).
Kejadian longsor terparah terjadi pada tahun ini, hingga tubuh embung ikut
mengalami kerusakan. jenis longsoran berupa luncuran dengan dimensi yang cukup besar lebar = 12 meter, panjang =
18 meter dan tinggi 14 meter (Gambar 3 d).
Gambar 3. (1)
retakan pada badan embung, (2) longsoran badan embung sisi sebelah Barat 2011,
(3) longsoran badan embung sisi sebelah Timur 2012, (4) longsoran badan
embung sisi
sebelah Timur 2013.
Litologi penyusunnya pada bagian atas
merupakan tanah humus, berwarna coklat kemerahan, banyak terdapat akar
tumbuhan, ketebalan ± 0,2 meter. Di bagian bawahnya merupakan pelapukan dari
batuan sedimen golongan silika berupa batu rijang (chert), berwarna merah hati, ukuran butir pasir halus hingga kasar
dengan ketebalan ± 2,5 meter. Di bawahnya lagi di jumpai litologi berupa lanau
pasiran, berwarna abu-abu kecoklatan, ukuran butir lempung hingga pasir halus,
agak kompak dengan ketebalan ± 1 meter. Sedangkan bagian paling bawah berupa
litologi lempung bersisik (scaly),
berwarna hitam mengkilap, terkadang dijumpai nodul besi serta fragmen kuarsa,
merupakan matrik dari komplek Melange
Luk Ulo (Gambar 4).
Gambar 4.
Skematik lapisan tanah daerah penelitian
Dari hasil pengujian laboratorium sifat fisik tanah
(Tabel 1) diketahui bahwa, adanya variasi nilai kadar air terhadap kedalaman di
lokasi yang sama. Perbedaan nilai ini disebabkan karena adanya faktor perbedaan
jenis mineral tanah dan porositas. Nilai kadar air yang besar menunjukkan
kandungan air yang tinggi pada material tanah tersebut, sehingga proses
penjenuhan akan semakin mudah dan tekanan air pori akan mudah meningkat, yang
pada akhirnya menyebabkan ketidakstabilan lereng.
Di lihat dari distribusi ukuran besar butir tanahnya, pada
tanah dengan kedalaman hingga 2 meter butiran yang lolos saringan 200
(<0,0075 mm) menunjukkan angka lebih dari 35%, ukuran lempung berkisar 27%
dan selebihnya merupakan lanau dan pasir. Pada kedalaman 3 meter butiran yang
lolos saringan 200 menunjukkan angka kurang dari 30%, lempung 22% dan selebihnya
merupakan lanau dan pasir halus. Dari nilai tersebut diatas menunjukkan bahwa
di kedalaman EBS – 2 lebih mengalami pelapukan lanjut.
Sedangkan berdasarkan hasil uji batas-batas Atterberg
dengan menggunakan grafik plastisitas Casagrande
menunjukkan, contoh tanah di kedalaman 2
dan 3 meter termasuk kedalam jenis
tanah lanau plastisitas tinggi dengan jenis mineral lempung kaolinit
(Gambar 5). Berdasarkan klasifikasi Skemton (1953) dan Seed (1962) dari hasil
perhitungan dan ploting data untuk mengetahui tingkat keaktifan dan
potensi pengembangannya menunjukkan bahwa, tanah embung termasuk dalam tingkat
keaktifan normal dan pengembangan sedang (Tabel 2 dan Gambar 6).
Gambar 5. Hubungan batas cair dan
Indeks Plastis untuk kedua contoh tanah pada grafik plastisitas Casagrande
Gambar 6.
Hasil ploting pada grafik klasifikasi Potensi pengembangan (Seed et al, 1962).
Dari hasil pengujian laboratorium sifat keteknikan
berdasarkan uji kuat geser tanah dengan menggunakan triaxial test pada kondisi
CU (Consolidated Underained)
diperoleh nilai sudut geser dalam tanah efektif (j’)
dan kohesi tanah efektif (c’) yang
dapat dilihat pada (Tabel 3). Kuat geser cenderung
memperlihatkan penurunan nilai mengikuti kedalaman tanah, hal tersebut
dikarenakan naiknya berat massa tanah dan naiknya muka air tanah akibat
masuknya air ke dalam tanah atau rembesan yang masuk pada pori antar butir
tanah yang mengakibatkan tekanan air pori naik.
Tabel 3. Uji parameter kuat geser tanah
|
Kode Sampel
|
|
EBS-1
|
EBS-2
|
|
|
|
|
|
|
Kedalaman
|
(m)
|
2
|
3
|
|
|
|
|
|
|
Kohesi efektif (c’)
|
(kg/cm2)
|
0,286
|
0,214
|
|
|
|
|
|
|
Sudut geser dalam efektif
|
(j’) (o)
|
9,65
|
11,79
|
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis, embung yang dibangun di daerah Seboro rentan
untuk mengalami ketidakstabilan, terutama pada bagian lereng tanah yang
merupakan hasil pelapukan batuan sedimen rijang. Hasil uji laboratorium
menunjukkan bahwa lapisan tanah di lereng embung hingga kedalaman 3 m mempunyai
potensi pengembangan sedang, dengan nilai kohesi efektif berkisar antara 0,29
dan 0,21 kg/cm2 dan sudut geser efektif kurang dari 12o. Dengan demikian,
ketidakstabilan lereng embung disebabkan oleh kuat geser yang rendah dan
kemiringan lereng yang melebihi sudut geser efektif tanah.
Untuk mengatasi permasalahan ketidakstabilan lereng embung ini maka
sangat perlu upaya untuk mengurangi tingkat kejenuhan air di dalam lapisan
tanah lereng embung. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan drainase atau
saluran samping embung pada lereng bagian atas, yang akan mengontrol aliran air
pada sekitar badan embung terutama disaat musim hujan. Perbaikan kestabilan
lereng dapat dilakukan dengan shot-crete
atau pasangan batu untuk mencegah air hujan meresap ke dalam tanah pada lereng
embung dan dengan menanam tumbuhan yang berakar serabut untuk melindungi tanah
dari bahaya erosi.
DAFTAR PUSTAKA
Das, B.M., 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis). Diterjemahkan :
Endah, N.M. dan I.B.M. Surya. Erlangga. Jakarta.
Hardiyatmo, H.C. 2006, Penanganan Tanah Longsor dan
Erosi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Setiadji, P., Sadisun, I.A., dan Bandono,
2006.Pengamatan dan Pengujian dalam Karakterisasi Pelapukan Andesit di
Purwakarta. Jurnal Geoaplika,Volume 1,Nomor 1, hal. 3-13.
Tohari, A., Dwi Sarah, Eko Subowo. 2005, Studi
pengaruh curah hujan terhadap gerakan tanah di Sumedang, Jawa Barat, Laporan
Penelitian Puslit Geoteknologi-LIPI, Bandung.
Wesley, L.D., 1977. Mekanika Tanah, Badan Penerbit
Pekerjaan Umum, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Yong, R, N., and Warketin, B, P., 1975, Introduction to Soil Behavior, The Mac
Milan Co, New York, USA.









Tidak ada komentar:
Posting Komentar